Mengenal Wali Allah & Tingkatanya


Pengertian Wali

Pengertian wali (bahasa) 1. Dekat. Jika seseorang sentiasa mendekatkan dirinya kepada Allah, dengan memperbanyakkan kebajikan, keikhlasan dan ibadah, dan Allah menjadi dekat kepadanya dengan limphan rahmat dan pemberianNya, maka di saat itu orang itu menjadi wali.

2. Orang yang senantiasa dipelihara dan dijauhkan Allah dari perbuatan maksiat dan ia hanya diberi kesempatan untuk taat sahaja.

Adapun asal perkataan wali diambil daripada perkataan al wala’ yang bererti : hampir dan juga bantuan. Maka yang dikatakan wali Allah itu orang yang menghampirkan dirinya kepada Allah dengan melaksanakan apa yang diwajibkan keatasnya, sedangkan hatinya pula sentiasa sibuk kepada Allah dan asyik untuk mengenal kebesaran Allah. 

Kalaulah dia melihat, dilihatnya dalil-dalil kekuasaan Allah. Kalaulah dia mendengar, didengarnya ayat-ayat atau tandatanda Allah.Kalaulah dia bercakap, maka dia akan memanjatkan puji-pujian kepada Allah. Kalaulah dia bergerak maka pergerakannya untuk mentaati Allah. Dan kalau dia berijtihad, ijtihadnya pada perkara yang menghampirkan kepada Allah. 

Seterusnya dia tidak jemu mengingat Allah, dan tidak melihat menerusi mata hatinya selain kepada Allah. Maka inilah sifat wali-wali Allah. Kalau seorang hamba demikian keadaannya, nescaya Allah menjadi pemeliharanya serta menjadi penolong dan pembantunya.

( Para wali Allah adalah dari kalangan ulama', tetapi tidak semestinya para ulama' adalah wali Allah )

Siapakah yang digelar wali?

1. Ibnu Abas seperti yang tercatit dalam tafsir Al Khazin menyatakan “ Wali-wali Allah itu adalah orang yang mengingat Allah dalam melihat”.

2. Al Imam Tabari meriyawatkan daripada Saeed bin Zubair berkata bahawa Rasulullah s.a.w. telah ditanya orang tentang Wali-wali Allah. Baginda mengatakan “Mereka itu adalah orang yang apabila melihat, mereka melihat Allah”.

3. Abu Bakar Al Asam mengatakan “Wali-wali Allah itu adalah orang yang diberi hidayat oleh Allah dan mereka pula menjalankan kewajiban penghambaan terhadap Allah serta menjalankan dakwah menyeru manusia kepada Allah”.

PENGGUNAAN ISTILAH WALI DALAM AL-QURAN.

“Allah adalah wali bagi orang-orang yang beriman”.1
“Dia menjadi wali bagi orang-orang shalih”.2
“Engkau adalah wali kami, maka kurniakanlah kami kemenangan atas orang-orang kafir”.3

1 Surah Al-Baqarah: 257

2 Surah Al-‘Araf: 196

3 Surah Al-Baqarah: 286

“Yang demikian itu adalah kerana Allah itu adalah wali bagi orang-orang yang beriman, sedangkan orang-orang kafir tidak ada wali bagi mereka”.4

“Sesungguhnya wali kamu adalah Allah dan RasulNya”.5

4 Surah Muhammad: 11

5 Surah Al-Maidah: 55

Dari semua ayat itu dapat kita lihat bahawa Allah disebut wali, orang mukmin disebut wali, seorang yang dewasa yang diberi tugas melindungi dan memelihara anak kecil juga disebut wali. Demikian juga orang yang lemah yang tidak dapat mengurus harta-bendanya sendiri, lalu dipelihara oleh keluarga yang lain, maka keluarga tersebut itu juga dipanggil wali. Penguasa pemerintah yang diberi tanggung jawab pemerintahan disebut wali. 

Ayah atau mahram yang berkuasa yang menikahkan anak perempuannya juga disebut wali. Lantaran itu dapatlah kita mengambail kesimpulan makna yang luas sekali dari kalimat wali ini. Terutama sekali ertinya ialah hubungan yang amat dekat (karib), baik kerana pertalian darah keturunan, atau kerana persamaan pendirian, atau kerana kedudukan, atau kerana kekuasaan atau kerana persahabatan yang karib. 

Allah adalah wali dari seluruh hambaNya dan makhlukNya, kerana Dia berkuasa lagi Maha Tinggi. Dan kuasaNya itu adalah langsung. Si makhluk tadi pun wajib berusaha agar dia pun menjadi wali pula dari Allah. Kalau Allah sudah nyata tegas dekat atau karib kepadanya dia pun hendaklah beraqarrub, ertinya mendekatkan pula dirinya kepada Allah. Maka timbullah hubungan perwalian yang timbal balik. 

Segala usaha memperkuatkan iman, memperteguhkan takwa, menegakkan ibadah kepada Allah menurut garis-garis yang ditentukan oleh Allah dan RasulNya, semuanya itu adalah usaha dan ikhtiar mengangkat diri menjadi wali Allah. Segala amal salih, sebagai kesan dari iman yang mantap, adalah rangka usaha mengangkat diri menjadi wali.

Dari Segi Penggunaan

Wali pada mafhumnya bererti :-

1. Seseorang yang senantiasa taat kepada Allah tanpa menodainya dengan perbuatan dosa sedikitpun.

2. Seseorang yang sentiasa mendapat perlindungan dan penjagaan, sehingga ia senantiasa taat kepada Allah tanpa melakukan dosa sedikit pun, meskipun ia dapat melakukannya.

TINGKATAN PARA AULIYA' ALLAH
Syaikhul Akbar Ibnu Araby dalam kitab Futuhatul Makkiyah membuat klasifikasi tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut: 

Wali Aqthab atau Wali Quthub Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.

Wali Aimmah
Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bernama Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bernama Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.


Wali Autad
Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Kakbah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Haiyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdu Murid.


Wali Abdal
Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab Futuhatul Makkiyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu, mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.

Pada tahun 586 di Spanyol, Ibnu Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Abdul Madjid bin Salamah sahabat Ibnu Arabi pernah bertemu Wali Abdal bernama Mu’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian.


Wali Nuqoba’
Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqoba’ melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.


Wali Nujaba’
Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.


Wali Hawariyyun
Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad sebagai Hawari adalah Zubair bin Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.


Wali Rajabiyyun

Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.

Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.

Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.


Wali Khatam

Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammd,saw.


Dipetik daripada :
http://risallah-hati.blogspot.com/2010/10/mengenali-wali-wali-allah-dan-karomah.html
http://nurmuslim91.blogspot.com/2009_12_01_archive.html

Kedudukan Iman, Islam dan Ihsan Dalam Ajaran Islam



KALIMAH SYAHADAH
Ajaran Allah atau ajaran Islam itu bermula dari kalimah syahadah. Ertinya dari satu perkataan dan kalimah atau dari satu ayat yang berbunyi: Maksudnya:
“Aku naik saksi tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah dan aku naik saksi Muhammad itu pesuruh Allah.”

Itulah yang dimaksudkan dengan kalimah syahadah. Pintu Islam adalah kalimah syahadah. Siapa yang mengucapkan dua kalimah syahadah, ertinya dia memeluk Islam atau dia masuk Islam. Agama Islam bertolak dari dua kalimah syahadah.

SYAHADAH IBARAT WADAH
Syahadah itu ibarat satu wadah. Ibarat satu bekas atau satu bakul. Dalam wadah itu ada isinya. Sudah tentulah isinya banyak. Tetapi yang terpokok ialah iman, Islam dan ihsan. Rupanya dalam wadah kalimah syahadah itu, isinya yang terpenting dan terpokok ada tiga iaitu iman, Islam dan ihsan. Iman dikatakan juga aqidah. Islam dikatakan juga syariat. Ihsan pula dikatakan juga hakikat atau tasawuf. Malahan banyak lagi istilah-istilah lain yang digunakan di sepanjang zaman bagi memperkatakan tentang iman, Islam dan ihsan. Ini akan diperjelaskan lagi di dalam bahagian-bahagian dan tulisan-tulisan yang seterusnya.

Iman itu pula, ia bukan seketul atau sebiji tetapi ia juga merupakan satu bekas atau wadah yang di dalamnya mengandungi banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan iman yang merupakan pakej iman. Di situ ada keyakinan, pegangan dan sebagainya. Bila dikatakan Islam, itu adalah syariat. Syariat pula tentulah banyak. Ada fardhu ain, ada fardhu kifayah, ada wajib dan ada sunat. Ada ibadah khususiah, ada ibadah umumiah, ada pendidikan, ekonomi, kebudayaan, dakwah, pentadbiran dan lain-lain lagi. Begitu juga ihsan. Di dalam bekas atau wadah itu ada ilmu hakikat dan ilmu rasa. Yakni penghayatan kita pada Tuhan seperti rasa takut, cinta, redha, tawakal, bergantung harap, rasa hamba dan seterusnya.

SELEPAS AQIDAH – AMALAN SYARIAT (FEKAH) DAN HAKIKAT (TASAWUF) MESTI SERENTAK
Namun dalam hendak mempraktikkan syahadah atau dalam hendak merealisasikan tuntutan-tuntutan syahadah, tidak boleh diambil satu sahaja dari isi wadah syahadah tersebut. Tidak boleh diambil iman sahaja atau Islam sahaja atau ihsan sahaja. Mesti diambil semuanya sekali sebagai satu pakej. Kalau diambil satu sahaja, akan rosak. Ia bukan seperti kita beli barang di pasar. Hendak ikan, beli ikan sahaja. Hendak daging, beli daging sahaja. Hendak sayur, beli sayur sahaja. Ini perkara rohani dan maknawi yang mesti diambil kesemuanya. Setiap satu itu berangkai dan berkait antara satu sama lain. Lanjutan kepada itu, kita harus faham bahawa Dinul Islam itu adalah satu ajaran yang mencakup seluruh ruang hidup manusia lahir batin, dunia dan Akhirat. Mengaji ilmu Islam yang sangat luas ini tidak cukup kalau dibuat setakat beberapa jam sahaja dalam satu minggu sepertimana yang berlaku di sekolah-sekolah sekular sekarang ini.

Sebab itulah hari ini, ramai umat Islam yang tidak tahu betul tentang agama anutannya sendiri. Sekalipun mereka beranggapan mereka lebih tahu dan faham serta berautoriti kerana mereka lulusan dari universiti Islam, namun hakikat sebenarnya, mereka belum mengetahuinya. Seperti yang diperkatakan sebelum ini, ajaran Islam itu selain daripada ilmu usuluddin atau tauhid (ilmu yang mengkaji tentang ketuhanan) yang menjadi asas kepada ajaran Islam, terdapat juga ilmu syariat dan ilmu hakikat. Disebut juga keduanya sebagai ilmu fekah dan ilmu tasawuf. Kedua-duanya termasuk perkara yang penting yang turut dituntut oleh Al Quran dan Hadis.

1. Ilmu Syariat
Bidang kajian ilmu syariat ialah tentang kehidupan lahiriah manusia. Definisi ilmu syariat itu ialah: Hukum-hakam yang datang daripada Allah, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terdiri daripada lima hukum iaitu wajib, sunat, haram, makruh dan harus (mubah). Dengan hukum-hakam ini, syariat menentukan seluruh kehidupan ini ada yang mesti dibuat, yakni perkara-perkara yang wajib. Ada yang elok dibuat yakni perkara sunat. Ada pula yang mesti ditinggalkan iaitu perkara haram. Manakala yang makruh elok ditinggalkan. Terdapat juga sebahagian daripada kehidupan ini yang boleh dibuat dan boleh ditinggalkan, yakni perkara-perkara yang dikategorikan sebagai harus (mubah) hukumnya. Dengan kata lain, setiap apa saja bidang yang kita ceburi di seluruh aspek kehidupan seperti dalam sistem pendidikan, ekonomi, pertanian, kebudayaan, teknologi dan lain-lain sistem hidup, tidak akan terlepas dari lima hukum ini.

2. Ilmu Hakikat
Ilmu hakikat itu bidang kajiannya ialah tentang hal rohani atau hati nurani manusia atau mengkaji tentang sifat-sifat nafsu. Sifat-sifat nafsu itu berbagai peringkat yang terdiri daripada nafsu ammarah, awwamah, nafsu mulhamah, nafsu mutmainnah, nafsu radhiah, nafsu mardhiah  dan nafsu kamilah. Termasuk juga di dalamnya perihal sifat-sifat gerakan serta dorongan hati. Definisi ilmu hakikat ialah rasa-rasa hati zauk  atau syu’ur  yang ada di dalam hati atau jiwa manusia yang sifatnya berubahubah dari satu bentuk rasa kepada bentuk rasa yang lain, bergantung kepada bentuk rangsangan-rangsangan lahir yang mendatangi manusia itu. Ada yang mahmudah dan ada yang mazmumah. Di antara rasa-rasa hati yang mahmudah (sifat positif) itu ialah ikhlas, cinta Allah, rasa kehebatan Allah, rasa gerun dengan Neraka, rasa berdosa, malu, rasa diawasi, kasih sayang, simpati,merendah diri, yakin, tawakal dan sebagainya. Sementara rasa-rasa hati yang mazmumah (sifat negatif) itu pula di antaranya riyak, ujub, sombong, pemarah, hasad, dendam, tamak, bakhil, penakut, jahat sangka dan lain-lain lagi.

Rasa-rasa hati yang telah disebutkan di atas sentiasa silih berganti menguasai hati atau roh. Oleh kerana itu, hati sentiasa berbolak-balik. Sebab itulah di dalam kitab, hati berbolak-balik itu dikatakan qalbun. Tidak dinamakan hati itu qalbun melainkan kerana sifatnya yang berbolak-balik. Qalbun itu maksudnya berbolak-balik. Hati juga wajib bersyariat iaitu menyuburkan sifat-sifat mahmudah. Inilah yang dikatakan syariat batin. Syariat itu adalah perintah yang qat‘ie. Kalau tidak dibuat, boleh jatuh kafir. Hakikat pula adalah perintah aradhi (mendatang). Ia lahir dari perintah qat‘ie. Kalau tidak dibuat, boleh jatuh fasik.

TERTIB DALAM MENGAMAL AJARAN ISLAM
Jelaslah bahawa syariat dan hakikat sama pentingnya. Kita tidak boleh menolak salah satu dan mengambil salah satunya sahaja. Kedua-duanya mesti diamalkan serentak atau berjalan seiring. Oleh itu dalam siri tertib untuk mengamalkan ajaran Islam bolehlah disusun begini:
1. Syariat
2. Tareqat
3. Hakikat
4. Makrifat

Ertinya kita mulakan dengan bersyariat, kemudian bertarekat, seterusnya berhakikat dan akhirnya bermakrifat. Semuanya saling berhubungan. Hubungan antara satu dengan yang lain seolah-olah anak tangga pertama dengan anak tangga yang berikutnya, hinggalah selesai di anak tangga tertinggi sekali. Syariat  Maksudnya, mula-mula kita memahami syariat iaitu peraturan-Nya, yakni mengetahui hukum-hakam. Mana yang wajib, mana yang haram, yang sunat, makruh dan mubah. Juga sah dan batal sama ada mengenai sembahyang, puasa, jihad, dakwah, ekonomi, pendidikan dan lain-lain lagi.

Tarekat
Kemudian apabila kita mengamalkannya bersungguh-sungguh dan istiqamah ertinya kita telah menempuh jalan-Nya iaitu yang dikatakan tarekat. Yakni mengamalkan apa yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang secara serius. Jadi tidaklah salah kalau syariat itu disebut jalan. Cuma ditempuhi jalan itu hanya sekadar mengetahuinya terlebih dahulu. Bila sampai peringkat jalan tadi telah ditempuh atau digunakan, barulah dinamakan tarekat. Hakikat Syariat dan tarekat itu kalau dibuat dengan faham dan dihayati akan berlakulah nanti ahwal  (perubahan jiwa) atau perubahan peringkat-peringkat nafsu. Misalnya perubahan rasa kehambaan, rasa cinta kepada Allah, rasa rendah diri kepada Tuhan, rasa tawakal, rasa penyerahan diri, rasa berani, rasa kasih sayang sesama makhluk, rasa redha, rasa sabar, rasa ikhlas kepada Allah dan mahmudah-mahmudah yang lainnya.

Atau kalau hendak dinisbahkan pada peringkat nafsu, prosesnya berlaku daripada nafsu ammarah kepada nafsu lawwamah, bertahap-tahap sehinggalah ke peringkat kemuncak kebersihan nafsu iaitu nafsu kamilah. Orang yang mendapat ahwal  (perubahan jiwa) secara istiqamah (tetap, tidak turun naik), inilah yang dikatakan telah mendapat maqam. Yakni dia mendapat darjat mengikut sifat mahmudah yang diperolehinya. Mana sifat batin yang kuat, itulah maqamnya. Kalau sabar kuat, itulah maqamnya.Maqam itu rasa, bukan ilmunya. Ada maqam sabar, ada maqam redha, maqam taubat, maqam tawakal dan sebagainya.

 Biasanya ia berlaku bertahap-tahap. Umpamanya sabar, maqam  tawakal, maqam  redha sehinggalah kesemua sifat-sifat mahmudah itu diperolehi secara tetap (istiqamah). Boleh jadi ada yang mendapat secara serentak sekali sifat-sifat mahmudah itu. Mendapat kesemua maqam-maqam inilah yang dikatakan mendapat hakikat. Iaitu mendapat intipati Islam (ubbun). Erti lain maksud hakikat itu ialah batin Islam atau intipati Islam (lubbun). Bilamana hal-hal hakikat tadi dapat dialami secara kekal (istiqamah) dan berterusan, bahkan makin menebal dan subur, maka akan terbukalah nanti rahsia-rahsia ghaib atau rahsia Allah. Ini sangat sulit untuk digambarkan kecuali dirasai oleh orang-orang yang mengalami dan merasainya.

Macamlah lautan yang dalam penuh dengan pelbagai misteri. Bukan semua orang dapat mengetahui rahsia di dalamnya kecuali yang ahli tentangnya sahaja. Itu pun perlu dibantu dengan peralatan yang canggih, barulah dapat menyelami hingga ke dasarnya. Sehingga terbongkarlah berbagai rahsia yang tidak pernah  diketahui oleh manusia lain selama ini. Kebanyakan orang hanya tahu tentang hal yang di permukaannya sahaja. Makrifat Hasil berhakikat pula kita akan mendapat makrifat. Iaitu sampai ke peringkat hal-hal hakikat dapat dialami secara istiqamah. Allah akan kurniakan satu peringkat kemuncak yang mana dapat mencapai ke satu tahap keyakinan yang tertinggi.

Di waktu ini, seseorang itu telah sampai ke peringkat makrifat, yakni dapat benar-benar mengenal Allah dan rahsia-rahsia-Nya. Gelaran untuk mereka ini ialah al ‘arifbillah. Orang yang mendapat makrifat, apa sahaja yang Tuhan jadikan atau lakukan padanya, dia faham maksud Tuhan. Dia faham dan tahu peranan Tuhan. Kalau dia kaya, dia tahu Tuhan mahu dia membela fakir miskin. Kalau dia berkuasa, dia tahu Tuhan mahu dia membela orang yang lemah dan tertindas. Orang yang mencapai maqam makrifat, macam-macam benda dia boleh dapat. Orang yang tidak faham akan kata dia syirik. Seperti kisah Al Hallaj yang berkata, “Ana ul-Haq.” Tuhan memperkatakan tentang diri-Nya melalui lidah Al Hallaj.

PERBANDINGAN SYARIAT, TAREQAT, HAKIKAT DAN MAKRIFAT

Bandingannya adalah seperti berikut. Mula-mula kita semai sebiji benih. Kemudian ia tumbuh menjadi sebatang pokok. Pokok itu akhirnya berbuah dan buah itu bila masak ranum akan memberikan kita kesedapan rasanya, yang tidak dapat kita ceritakan pada orang yang tidak memakannya. Maka:
– biji benih itu umpama syariat
– menanam pokok itu umpama tareqat.
– buah itu umpama hakikat.
– rasa buah itu umpama makrifat.

Sebab itu dikatakan syariat menghasilkan tareqat. Tareqat membuahkan hakikat. Hakikat buahnya adalah makrifat. Semuanya saling lengkap-melengkapi, perlu-memerlukan, sandar-menyandar dan mesti jalan seiring. Yang lahir menggambarkan yang batin. Maka kalau dipisah-pisahkan, akan cacat dan rosaklah keislaman seseorang itu.

Imam Malik r.h.m berkata: Maksudnya:
“Barang siapa berfekah (syariat) tanpa tasawuf (hakikat), maka ia jadi fasik. Barang siapa bertasawuf (hakikat) tanpa fekah (syariat), maka ia jadi kafir zindik (kafir secara tidak sedar).”

Supaya lebih jelas lagi, eloklah dibuat beberapa contoh seperti berikut:

1. Berfekah tanpa tasawuf
Berfeqah tanpa tasawuf bermakna seseorang itu hanya melakukan amalan-amalan lahir. Katalah semua rukun Islam yang lima itu beres dilakukannya. Ditambah lagi dengan berjuang fisabilillah, berdakwah, belajar, mengajar, menziarah, berkorban dan menutup aurat. Dijaga juga dari melakukan perkara-perkara lahir yang haram dan makruh. Ditambah lagi dengan amalan-amalan sunat.

Pendek kata, semua perintah atau larangan lahir ditaati, tetapi amalan batin yakni hatinya tidak diambil pusing. Dibiarkan saja riyak, ujub, gila nama, ingin glamor, sombong, tamak, bakhil, pemarah, dendam, dengki, cinta dunia dan lain-lain lagi sifat negatif mencorak sikapnya. Inilah dia orang syariat atau orang yang berfekah sahaja. Pada pandangan mata lahir dia seorang yang sangat baik, kerana hukum Islam yang lahir sangat dijaganya. Tetapi di sisi Allah, orang ini masih berdosa yakni derhaka pada Allah kerana dia tidak menjalankan syariat batin yang diperintahkan oleh Allah. Dibiarkan sahaja hatinya dipenuhi dengan sifat-sifat mazmumah.

Seperti juga orang yang sembahyang tetapi tidak takut dengan Tuhan. Kalau ada tasawuf, selepas sembahyang mesti risau, bimbang, takut tidak beradab dengan Tuhan dalam sembahyang. Takut sembahyangnya Tuhan tidak terima. Bila sembahyang atau membuat ibadat-ibadat yang lain, mesti bertambah rasa hamba. Inilah buah tasawuf. Ibadah walaupun tidak timbul riyak dan tidak ujub tetapi kalau tidak rasa takut dengan Tuhan, hakikatnya tertipu. Boleh beribadah tanpa riyak dan ujub baru sekadar selamat. Bila dapat rasa hamba dan rasa bertuhan, itu baru dikatakan darjat. Lihat sabda Rasulullah SAW: Maksudnya:

“Sesungguhnya Allah tidak memandang gambaran rupa kamu dan tidak kepada bangsa kamu dan tidak kepada harta benda kamu tapi Dia memandang hati kamu dan amalan-amalan kamu.”
(Riwayat At Tabrani)

Maka orang yang melanggar syariat batin ini, Imam Malik menjatuhkan hukum fasik. Yakni orang berdosa, kalau mati tanpa taubat akan masuk Neraka tetapi tidak kekal di dalam Neraka.

2. Bertasawuf tanpa fekah
Bertasawuf tanpa fekah bermakna seseorang yang menjaga hati sahaja, mengamal seluruh atau sebahagian dari syariat batin (amalan batin) tetapi menolak dan meninggalkan syariat lahir semua sekali. Dia sangat menjaga hati dari hasad, dendam, pemarah, jahat sangka di samping menyuburkan kasih sayang, simpati, tawakal, tawadhuk, sabar dan lain-lain sifat mahmudah tetapi tidak melaksanakan rukun Islam yang lima dan lain-lain lagi. Inilah orang yang berhakikat namanya dan menafikan syariat. Pada Imam Malik dikatakan kafir zindiq iaitu kafir secara tidak sedar. Bila mati tanpa taubat, akan dimasukkan ke Neraka dan kekal di dalamnya. Wal’iyazubillah. Dalam masyarakat hari ini banyak kita temui orang-orang yang memisahkan ajaran Islam dan beramal dengan salah satu darinya.

Ada yang bersyariat sahaja. Ada yang berhakikat sahaja. Bahkan ada yang meninggalkan kedua-duanya sekali. Hal ini sebenarnya menyimpang dari ajaran Islam. Islam yang sebenarnya bukan begitu. Ia mesti diamalkan serentak antara syariat dan hakikat. Bila diamalkan, dia akan memperolehi hasilnya iaitu makrifatullah. Seperti sebiji buah, ada kulit, ada isi dan ada rasa. Mana boleh kita pisahkan-pisahkan antara ketiga-tiganya. Semuanya mesti bagus, barulah kita mengatakan buah itu bagus. Kalau kulit saja busuk, tentu sudah ditolak orang kerana dikatakan buah itu tidak bagus. Kesimpulannya, Islam seseorang itu hanya akan sempurna kalau orang itu mengamalkan syariat, tarekat dan hakikat secara serentak. Maka layaklah ia digelar taslim, yakni tunduk lahir dan batin. Siapa yang tidak sedemikian halnya maka Allah menempelak dengan firman-Nya: Maksudnya:

“Mereka bercakap dengan mulut mereka tetapi tidak seperti apa yang ada di dalam hati-hati
mereka.”
(Ali Imran: 167)

Ciri-ciri ini menyamai sifat orang munafik, yang lahirnya lain, dalam hati pula lain. Moga-moga kita diberi hidayah dan taufik dari Allah SWT. Amin.

MELAHIRKAN SYIAR ISLAM
Syiar bukan perkara kecil. Tuhan jadikan gunung setinggi-tinggi dan segagah-gagahnya serta laut yang seluas dan sedalamdalamnya, itu adalah syiar Tuhan. Ia adalah tanda kehebatan dan kebesaran Tuhan. Islam juga ada syiarnya. Iman, Islam dan ihsan itu, kalau diambil dan dihayati kesemuanya, ia akan melahirkan syiar. Kalau seseorang itu mengambil dan menghayati iman, Islam dan ihsan maka akan nampaklah syiar-syiar Tuhan pada peribadi orang itu. Itu pada peribadi. Kalau berlaku pada kelompok manusia maka lagi terserlah syiar Tuhan pada kelompok manusia itu. Nampak indahnya pada pendidikan, pada ekonomi, pada kebudayaan, pada pentadbirannya, pada ibadah dan pada akhlaknya. Nampak indah dan nampak kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Sebab bila tiga perkara ini diterima dan dihayati akan nampak cantik.

Bagaimana pendidikan yang nampak cantik? Guru dan murid, saling hormat-menghormati. Murid seperti anak dan guru, macam seorang ayah yang sangat sayang dengan anak-anaknya. Dalam rumah tangga pula, apabila tiga perkara ini diterima dan dihayati, akan lahir harmoni dan berkasih sayang. Nampaklah anak hormati ibu bapa, isteri taat, suami bertanggungjawab dan sama-sama beribadah. Dalam masyarakat, nampak pula syiar pada ekonomi di mana berlakunya bertolak ansur dan khidmat, ada kasih sayang antara satu sama lain, penjual perlu pada pembeli dan pembeli perlu pada penjual. Nampak hidup yang begitu indah dan cantik. Nampak dalam masyarakat berlaku kasih sayang. Lahir perpaduan, kesatuan, kerjasama dan bekerjasama.

Begitu juga pada pentadbiran. Nampak indahnya pentadbiran. Adil dan saksama. Begitulah seterusnya di sudut-sudut lain. Kerana orang yang berjaya merangkumkan dalam hidupnya iman, Islam dan ihsan, ibarat orang yang makan, nampak sihat dan badan kuat. Tidak terkena penyakit dan tidak sakit. Hidup selesa. Itulah dinamakan syiar. Syiar dapat dilihat oleh mata pada keindahan hidup. Dapat melihat kebesaran Tuhan dalam kehidupan manusia. Sebab itu Tuhan berfirman: Maksudnya:

“Barang siapa membesarkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu datang dari hati yang bertaqwa.”
(Al Hajj: 32)

Apabila syiar mampu ditegakkan, itulah jalan menuju taqwa. Bila satu kelompok, satu puak atau satu negara berjaya menegakkan syiar, itu tanda mereka menuju taqwa. Allah akan datang kan berbagai bantuan, berkat dan rahmat, dan Allah sendiri akan mengalahkan musuh-musuh mereka. Maka akan tercetuslah apa yang Tuhan firmankan: Maksudnya:
Negara yang aman makmur dan mendapat keampunan Tuhan.” 
(Saba: 15)

Islam dan ihsan diambil dan dihayati, ia akan melahirkan taqwa. Kalau satu sahaja atau dua sahaja yang diambil dan dihayati, maka ia tidak akan membawa kepada taqwa. Iman sahaja tanpa Islam (syariat) dan ihsan, atau Islam sahaja tanpa iman dan ihsan, atau ihsan sahaja tanpa iman dan Islam tidak akan membawa kepada taqwa.

Kenal Tuhan Dahulu Barulah Syariat-Nya
Di dalam ajaran Islam, mengenal Tuhan lebih dahulu
adalah perkara yang pertama dan utama
Selepas itu barulah mengenal syariat-Nya pula
Tujuan mengenal Tuhan
agar hamba-hamba-Nya di kalangan manusia
cinta kepada-Nya
Pepatah Melayu ada berkata:
Tidak kenal maka tidak cinta
Percaya sahaja adanya Tuhan tapi tidak kenal Tuhan
sudah tentu cinta tidak berbunga
Tidak cinta kepada Tuhan
syariat-Nya orang tidak akan menghormati
Mari kita mengenal Tuhan
agar kita cinta kepada-Nya
Tuhan adalah Allah yang mencipta dunia Akhirat
dan seluruh isinya
Mencipta manusia bahkan mencipta segala-galanya
Dia adalah Maha Berkuasa, Maha Mengetahui
Maha Melihat, Maha Mendengar
Maha Berkehendak dan kehendak-Nya
tertunai segala-galanya
Tuhan adalah mengadakan dan mentiadakan
mematikan dan menghidupkan
Menghukum sama ada di dunia mahupun di Akhirat
kerana keadilan-Nya
Tuhan adalah segala-galanya
Dialah yang memberi makan dan minum,
Dialah yang menyakitkan dan menyembuhkan
Dia juga menyenangkan dan menyusahkan
memiskinkan dan mengkayakan
Menjatuhkan dan menaikkan seseorang
atau sesuatu bangsa
Memberi rahmat dan nikmat
memberi niqmah dan bala bencana
Mendidik, mengasuh, menjaga dan memberi keselamatan
Memberi petunjuk dan menyesatkan
sesiapa yang Dia suka
Tapi semuanya berlaku
dengan ketentuan dan hukuman-Nya
Siapa yang masuk Neraka adalah dengan keadilan-Nya
Siapa yang masuk Syurga adalah dengan rahmat-Nya
Tuhan adalah Zat yang Maha Esa
tidak ada bandingan dan tandingan
Tidak ada penyamaan dan penyerupaan
Maha Suci daripada penyerupaan
dan Maha Suci daripada dapat dilintaskan
Hakikat Zat-Nya Dia sahaja yang mengetahui
Tiada di kalangan makhluk-Nya yang mengetahui
Sekalipun para malaikat yang suci daripada dosa
dapat mengetahui
Kuasa atau Qudrat-Nya bukan dengan tenaga
kehendak-Nya bukan dari perasaan-Nya
Tuhan tidak ada perasaan macam manusia
Yang berkuasa dan berkehendak adalah Zat-Nya
Begitu juga melihat, mengetahui, mendengar
adalah Zat-Nya
Yang mempunyai sifat-sifat itu semuanya
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Maha Qahhar dan Jabbar



Dipetik daripada :

Perindu Cinta ALLAH : Rabia'ah Al-Adawiyah

Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang terkenal dalam sejarah Islam. Dia dilahirkan sekitar awal kurun kedua Hijrah berhampiran kota Basrah di Iraq. Dia lahir dalam sebuah keluarga yang miskin dari segi kebendaan namun kaya dengan peribadatan kepada Allah. Ayahnya pula hanya bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan.

Pada akhir kurun pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlumba-lumba mencari kekayaan. Justeru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara' serta zuhud hampir lenyap sama sekali.

Namun begitu, Allah telah memelihara sebilangan kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Pada masa itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri. Pengikutnya terdiri daripada lelaki dan wanita. Mereka menghabiskan masa dan tenaga untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan hawa nafsu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai hamba yang benar-benar taat.

Bapa Rabi'ah merupakan hamba yang sangat bertaqwa, tersingkir daripada kemewahan dunia dan tidak pernah letih bersyukur kepada Allah. Dia mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa bersih. Pendidikan yang diberikannya bersumberkan al-Quran semata-mata. Natijahnya Rabi'ah sendiri begitu gemar membaca dan menghayati isi al-Quran sehigga berjaya menghafal kandungan al-Quran.

Sejak kecil lagi Rabi'ah sememangnya berjiwa halus, mempunyai keyakinan yang tinggi serta keimanan yang mendalam. Menjelang kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit. Keadaan itu semakin buruk setelah beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Rabi'ah juga tidak terkecuali daripada ujian yang bertujuan membuktikan keteguhan iman.

Ada riwayat yang mengatakan beliau telah terjebak dalam kancah maksiat. Namun dengan limpah hidayah Allah, dengan asas keimanan yang belum padam di hatinya, dia dipermudahkan oleh Allah untuk kembali bertaubat. Babak-babak taubat inilah yang mungkin dapat menyedar serta mendorong hati kita merasai cara yang sepatutnya seorang hamba brgantung harap kepada belas ihsan Tuhannya.

Marilah kita teliti ucapan Rabi'ah sewaktu kesunyian di ketenangan malam ketika bermunajat kepada Allah:

"Ya Allah, ya Tuhanku. Aku berlindung diri kepada Engkau daripada segala yang ada yang boleh memesongkan diri daripada-Mu, daripada segala pendinding yang boleh mendinding antara aku dengan Engkau!
Tuhanku! bintang-bintang telah menjelma indah, mata telah tidur nyenyak, semua pemilik telah menutup pintunya dan inilah dudukku di hadapan-Mu.
Tuhanku! Tiada kudengar suara binatang yang mengaum, tiada desiran pohon yang bergeser, tiada desiran air yang mengalir, tiada siulan burung yang menyanyi, tiada nikmatnya teduhan yang melindungi, tiada tiupan angin yang nyaman, tiada dentuman guruh yang menakutkan melainkan aku dapati semua itu menjadi bukti keEsaan-Mu dan menunjukkan tiada sesuatu yang menyamai-Mu.

Sekelian manusia telah tidur dan semua orang telah lalai dengan asyik maksyuknya. Yang tinggal hanya Rabi'ah yang banyak kesalahan di hadapan-Mu. Maka moga-moga Engkau berikan suatu pandangan kepadanya yang akan menahannya daripada tidur supaya dia dapat berkhidmat kepada-Mu."

Rabi'ah juga pernah meraung memohon belas ihsan Allah SWT:

"Tuhanku! Engkau akan mendekatkan orang yang dekat di dalam kesunyian kepada keagungan-Mu. Semua ikan di laut bertasbih di dalam lautan yang mendalam dan kerana kebesaran kesucian-Mu, ombak di laut bertepukan. Engkaulah Tuhan yang sujud kepada-Nya malam yang gelap, siang yang terang, falak yang bulat, bulan yang menerangi, bintang yang berkerdipan dan setiap sesuatu di sisi-Mu dengan takdir sebab Engkaulah Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Perkasa."

Setiap malam begitulah keadaan Rabi'ah. Apabila fajar menyinsing, Rabi'ah terus juga bermunajat dengan ungkapan seperti:

"Wahai Tuhanku! Malam yang akan pergi dan siang pula akan mengganti. Wahai malangnya diri! Apakah Engkau akan menerima malamku ini supaya aku berasa bahagia ataupun Engkau akan menolaknya maka aku diberikan takziah? Demi kemuliaan-Mu, jadikanlah caraku ini kekal selama Engkau menghidupkan aku dan bantulah aku di atasnya. Demi kemuliaan-Mu, jika Engkau menghalauku daripada pintu-Mu itu, nescaya aku akan tetap tidak bergerak juga dari situ disebabkan hatiku sangat cinta kepada-Mu."

Seperkara menarik tentang diri Rabi'ah ialah dia menolak lamaran untuk berkahwin dengan alasan:

"Perkahwinan itu memang perlu bagi sesiapa yang mempunyai pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak mempunyai apa-apa pun."
 
Rabi'ah seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keredaan Allah. Rabi'ah telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata. Dia sentiasa meletakkan kain kapannya di hadapannya dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.

Selama 30 tahun dia terus-menerus mengulangi kata-kata ini dalam sembahyangnya:

"Ya Tuhanku! Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan aku daripada-Mu."

Antara syairnya yang masyhur berbunyi:

"Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun,
Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun,
Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan peribadiku sekalipun,
Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun."


Rabi'ah telah membentuk satu cara yang luar biasa di dalam mencintai Allah. Dia menjadikan kecintaan pada Ilahi itu sebagai satu cara untuk membersihkan hati dan jiwa. Dia memulakan fahaman sufinya dengan menanamkan rasa takut kepada kemurkaan Allah seperti yang pernah diluahkannya:

"Wahai Tuhanku! Apakah Engkau akan membakar dengan api hati yang mencintai-Mu dan lisan yang menyebut-Mu dan hamba yang takut kepada-Mu?"

Kecintaan Rabi'ah kepada Allah berjaya melewati pengharapan untuk beroleh syurga Allah semata-mata.

"Jika aku menyembah-Mu kerana takut daripada api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu kerana tamak kepada syurga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu kerana kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu."

Begitulah keadaan kehidupan Rabi'ah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta kecintaan kepada-Nya. Rabi'ah meninggal dunia pada 135 Hijrah iaitu ketika usianya menjangkau 80 tahun. Moga-moga Allah meredainya, amin!

Sekarang mari kita tinjau diri sendiri pula. Adakah kita menyedari satu hakikat yang disebut oleh Allah di dalam Surah Ali Imran, ayat 142 yang bermaksud:

"Apakah kamu mengira bahawa kamu akan masuk syurga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang yang sabar."

Bagaimana perasaan kita apabila insan yang kita kasihi menyinggung perasaan kita? Adakah kita terus berkecil hati dan meletakkan kesalahan kepada insan berkenaan? Tidak terlintaskah untuk merasakan di dalam hati seumpama ini:

"Ya Allah! Ampunilah aku. Sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya kasih-Mu yang abadi dan hanya hidup di sisi-Mu sahaja yang berkekalan. Selamatkanlah aku daripada tipu daya yang mengasyikkan."

Sesungguhnya apa juga lintasan hati dan luahan rasa yang tercetus daripada kita bergantung kepada cara hati kita berhubung dengan Allah. Semakin kita kenali keluhuran cinta kepada Allah, maka bertambah erat pergantungan hati kita kepada Allah serta melahirkan keyakinan cinta dan kasih yang sentiasa subur.

Lanjutan itu jiwa kita tidak mudah berasa kecewa dengan gelagat sesama insan yang pelbagai ragam. Keadaan begini sebenarnya terlebih dahulu perlu dipupuk dengan melihat serta merenungi alam yang terbentang luas ini sebagai anugerah besar daripada Allah untuk maslahat kehidupan manusia. Kemudian cubalah hitung betapa banyaknya nikmat Allah kepada kita. Dengan itu kita akan sedar bahawa kita sebenarnya hanya bergantung kepada Allah.

Bermula dari sini kita akan mampu membina perasaan cinta terhadap Allah yang kemudian mesti diperkukuhkan dengan mencintai titah perintah Allah. Mudah-mudahan nanti kita juga akan menjadi perindu cinta Allah yang kekal abadi.



Dipetik daripada :
http://nurmuslim91.blogspot.com/2010/09/perindu-cinta-allah-rabiah-al-adawiyah.html


FIQHUL WAQI'

FIQHUL WAQI’

Fiqh bererti “Ilmu”. Waqi’ bererti “Kenyataan Atau Kebenaran”. Apabila dua kalimah ini digabungkan ia bererti “Ilmu Kenyataan Atau Ilmu Kebenaran”. Ia dikatakan juga sebagai “Ilmu Peristiwa Dan Hukumnya”. Namun, jika difahami penggunaan kesemua istilah-istilah ini, ia tidak dapat memberi kenyataan, kebenaran atau apa pun ilmu yang hak yang berkenaan dengannya, kecuali jika diambil atau difahami dari kitab Allah dan sunnah RasulNya. Maka fiqhul waqi’ yang sebenar adalah yang diambil, dipelajar dan difahami dari al-Quran dan as-Sunnah. Oleh kerana itu, Syeikh Nasruddin al-Albani rahimahullah berkata:

“Asas awal fiqhul waqi’ (yang dikehendaki oleh syara, Pent.) ialah mengetahui al-Kitab dan as-Sunnah melalui manhaj Salaf as-Soleh. Sama ada secara pemahaman atau cara pelaksanaannya, bukan hanya setakat pengakuan dan angan-angan. Maka tidak boleh dikatakan “memahami fiqhul waqi’ yang sebenar” sesiapa yang tidak mengetahui kitab Rabb-Nya dan sunnah Nabi-Nya”. (Lihat: Soal Jawab Haula Fiqhul Waqi’, hlm. 16-17 Al-Albani)

Secara ringkas, fiqhul waqi’ dapat difahami dengan jelas dari penjelasan Ibnul Qaiyim rahimahullah. Beliau berkata:
 
وَلاَ يَتَمَكَّنُ الْمُفْتِيُّ وَلاَ الْحَاكِمُ مِنَ الْفتوَى وَالْحُكْم بِالْحَقِّ اِلاَّ بِنَوْعَيْنِ مِنَ الْفَهْمِ .
 
“Seseorang mufti atau hakim tidak akan mampu berfatwa dan mengeluarkan (memutuskan) hukum kecuali setelah memahami (waqi’/kenyataan. Pent.) dua (jenis) pemahaman:
 
اَحَدُهُمَا : فَهْمُ الْوَاقَعِ ، وَالْفِقْهُ فِيْهِ ، وَاسْتِنْبَاطُ عِلْمِ حَقِيْقَته مَا وَقَعَ بَالْقَرَائِنِ وَاْلأمَارَاتِ وَالْعَلاَمَاتِ حَتَّى يحِيْطَ بِهِ عِلْمًا.
 
“Pertama: Memahami (tahu dan mengerti) tentang waqi’ (kejadian/keadaan/kondisi), berilmu tentang ilmu hakikat (peristiwa/kejadian yang sedang berlaku pada masyarakat. Pent.) Kemudian mampu membuat keputusan secara hakikat yang sebenarnya dari kejadian tersebut, disertai dengan pembuktian-pembuktian, tanda-tanda dan ciri-cirinya sehingga dirinya menguasai ilmu tersebut”.
 
وَالنَّوْعُ الثَّانِيْ : فَهْمُ الْوَاجِبِ فِى الْوَاقِعِ : وَهُوَ فَهْمُ حُكْم اللهِ الَّذِيْ حكمَ بِهِ فَى كِتَابِهِ اَوْ عَلَى لِسَانِ رَسُوْلِهِ فِى هَذَا الْوَاقِعِ.

“Kedua: Faham (menguasai) ilmu yang wajib yang berkaitan dengan kenyataan. Iaitu memahami hukum-hakam Allah di dalam al-Quran dan lisan (Sunnah) Rasul-Nya yang dengannya Allah telah menentukan sesuatu hukum berdasarkan kenyataan kejadian yang berlaku”.

Kemudian melaksanakan kedua perkara ini (yang wajib digabungkan. Pent), salah satunya dengan yang lainnya kerana tidak boleh dipisahkan. Dan sesiapa yang mengarahkan kesungguh-sungguhannya dan mengorbankan ruang waktunya yang panjang untuk yang demikian, maka dia tidak terlepas dari mendapat dua atau satu pahala dari dua perkara tersebut.

Maka orang alim dituntut untuk menguasai ilmu waqi’ atau berusaha untuk memahaminya agar dapat diputuskan peristiwa/kejadian dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. (Lihat: اعلام الموقعين 1/187. Ibnu Qaiyim)

Dari kenyataan Ibnu Qaiyim, maka fiqhul waqi’ dapat disimpulkan:

“Mengetahui hukum-ahkam Allah Subhanahu wa-Ta’ala yang terdapat di dalam al-Quran dan Sunnah NabiNya. Kemudian mampu menerapkan keduanya pada kejadian yang berlaku serta permasalahan yang ada pada ketika itu”.

Penjelasan di atas ini berdasarkan firman Allah:

وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَاءَ هُمْ

“Dan hendaklah engkau berhukum antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah turuti hawa nafsu mereka”. (Al-Maidah, 5:49)
 
اِنَّا اَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا اَرَاكَ اللهُ.
 
“Sesungguhnya telah Kami turunkan aL-Kitab (al-Quran) kepadamu agar kamu berhukum antara mereka dengan apa yang telah diperlihatkan Allah kepadamu”. (An-Nisaa, 105)

Dengan demikian, untuk menetapkan dan melaksanakan fiqhul waqi’ maka asasnya adalah al-Quran dan as-Sunnah kerana keduanya merupakan penerangan, petunjuk dan pelajaran dalam menghadapi waqi’.

Ini bermakna, mengamalkan fiqhul waqi’ sebagaimana yang dituntut dan mengikut manhaj yang dilalui oleh para Salaf as-Soleh, adalah memenuhi perintah Allah Subhana wa-Ta’ala yang berdasarkan firmanNya:
 
اِنَّا اَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرَاكَ اللهُ.

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu al-Kitab dengan membawa kebenaran, agar kamu mengadili (berhukum) antara manusia dengan apa yang telah diwahyukan kepadamu”. (An-Nisaa, 4:105)
 
وَاَنِ احْكُمْ بِيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَاءَ هُمْ.

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka”. (Al-Maidah, 5:49)
 
هَذَا بَيَانٌ للنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ للْمُتَّقِيْنَ.

“(Al-Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa”. (Ali Imran, 3:138)

Ayat di atas ini menjelaskan bahawa keadaan, kejadian (peristiwa), kondisi dan situasi (waqi’) ditundukkan dan dirujukkan kepada hukum-ahkam al-Quran dan as-Sunnah. Bukan al-Quran dan as-Sunnah diketepikan kerana memenuhi kehendak fiqhul waqi’ (kondisi, situasi, peristiwa dan kenyataan) yang berlandaskan hawa nafsu, yang diimarahkan dan yang dijadikan fiqh keutamaan sehingga kerananya menjadi penyembah pendewaan akal (aklani – (عقلاني sehingga terkeluar dari panduan dan kehendak al-Kitab (al-Quran dan as-Sunnah).

Namun pengertian fiqhul waqi’ yang dimaksudkan oleh golongan haraki hizbi ialah fiqh (ilmu) tentang peristiwa/kejadian atau kenyataan yang berkaitan dengan politik yang sedang berlaku ke atas masyarakat, pergolakan pemerintahan dan hal-hal yang berkaitan dengan negara, tetapi malangnya mereka mengenepikan hakikat waqi’ mengikut panduan syara, kerana mengutamakan akal fikiran dan hawa nafsu.

Orang-orang yang bertaqlidkan kepada orang-orang hizbi yang mendewa-dewakan fiqhul waqi’ yang meninggalkan panduan al-Quran dan as-Sunnah. Maka pengertian fiqhul waqi’ yang mereka maksudkan amat jauh dari pengertian yang dikehendaki oleh syara. Kerana fiqhul waqi’ yang mereka pakai hanya menekankan soal-soal politik (siasah), hakimiyah dan soal-soal muamalah sahaja, sehingga dengan mudah menuduh para ulama Salaf as-Soleh (yang tidak akan menerima dan tidak menyibukkan diri dengan fiqhul waqi’ ciptaan mereka/hizbiyun) dianggap bebal, dungu, jumud (beku, kaku atau kolot) dan bodoh tentang hakikat fiqih waqi.

FIQHUL WAQI’ MENURUT HIZBIYAH (PUAK-PUAK) YANG MENYIMPANG

Fiqhul waqi’ (فقه الواقع) yang dikenal juga dengan sebutan fiqh keutamaan, fiqh aulawiyaat (فقه الاولويات) atau fiqh priority, menurut pandangan orang-orang haraki (harakiyun/orang-orang yang bergerak dalam gerakan kelompok hizbiyah), maka mereka memahami sebagai ilmu tentang kondisi, keadaan dan kejadian semasa yang ditekankan terutamanya dalam soal-soal politik secara yang berlebih-lebihan.

Dijadikan fiqhul waqi’ ini oleh mereka sebagai manhaj dakwah, manhaj tarbiyah dan dianggap lebih penting dari persoalan akidah dan solat. Sehingga ada suara-suara mereka yang berpegang dengan teori fiqhul waqi’ haraki ini mengatakan tanpa segan silu bahawa:

“Golongan ulama Salaf hanya sibuk dengan tauhid, syirik, janggut, isbal, sunnah dan bid’ah! Tetapi tidak tahu tentang fiqhul waqi’. Bagaimana dan bila mereka boleh maju?”

Mereka menyuarakan lagi:

“Jangan sibukkan umat ini dengan riwayat-riwayat hadis, serukan mereka tentang waqi’ yang berdaya maju”.

Golongan hizbi haraki, menghidupkan fahaman fiqhul waqi’ yang dilarikan dari kehendak syara’ agar umat Islam mengeratkan fikiran mereka dengan sumber-sumber media informasi agar hanya mengetahui waqi’ul ummah (masyarakat). Buktinya ialah mereka amat menitik-beratkan persoalan media informasi dan mengajak masyarakat memberi penumpuan kepadanya sedangkan mereka masih bodoh dalam persoalan agama terutamanya persoalan akidah, manhaj dan malahan yang asas.

Mereka lupa bahawa semua media utama di dunia telah dikuasai oleh kaum kuffar yang menggunakan media untuk memerangi dan menghancurkan umat Islam dan akidah mereka.

Golongan hizbi yang melaungkan fiqhul waqi’ sewajarnya menyedari bahawa khabar dari media kuffar dan orang-orang fasik tidak dapat dipastikan kebenarnnya. Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman agar berjaga-jaga dari berita yang didatangkan oleh mereka. Firman Allah:
 
َا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِنْ جَآءَ كُمْ فَاسِقٌ بِنَبَاءٍ فَتَبَيَّنُوْا.

“Wahai orang-orang yang beriman! Bila datang kepada kamu orang fasik dengan membawa berita, maka periksalah”. (Al-Hujuraat, 6)
 
http://fiqh-sunnah.blogspot.com/2007/06/topic-008-fiqhul-waqi.html


Catatan Musafir : Tarbiah Disember


Perancangan dan aturan Allah cukup indah. Tidak sedikit pun perancangan-Nya yang menyertai ujian itu bertujuan untuk membenci kita. Tidak sama sekali sedemikian, malah rahmat Allah cukup besar bertujuan mendekatkan diri kita pada-Nya jika dinilai dari mata hati. Subhanallah..

Kem Bina Sahsiah : aku, tarbiah, dan mujahadah

Alhamdulillah. Dengan kehendak-Nya yang Maha Hebat, diri ambo yang sangat faqir dan dhoif ini Allah izinkan untuk bersama dalam medan tarbiah Kem Bina Sahsiah (KBS) pada sebahagian Disember 2010 lepas. Setidak-tidaknya terisi juga cuti ambo dengan 'peringatan' dari-Nya. 
 
Fasilitator Muslimin KBS siri ke-3
Berada bersama sahabat-sahabat pejuang yang hebat-hebat belako menjadikan diri faqir ini merasa kecil dalam himpunan program tarbiah ini. Namun, mereka semua tidak pernah meninggi diri malah sudi berkongsi ilmu yang alhamdulillah menjadi mutiara yang indah dalam pengalaman tarbiah ini. =)

Ditetapkan menjadi fasilitator kepada adik-adik yang melalui jalan mujahadah ini cukup berat. Tetapi, ambo cuba sedaya upaya dengan ruang lingkup ilmu dan qudrat yang dipinjamkan-Nya untuk memikul amanah ini. 

Pengalaman adik-adik melalui jalan hidup masing-masing yang berbeza cukup mengajar diri sendiri ini untuk bersyukur pada Allah. Kalian mengharungi hidup dengan sejarah luka yang penuh dibadan, sejarah pahit untuk ditelan, dosa hitam yang kadang-kadang terbayang tatkala mengalunkan zikrullah, tetapi ingatlah qada' dan qadar Allah tersurat hikmah yang agung. Ujian Allah tanda Dia sayang pada kita. Ingatlah Allah selalu, jangan tinggal solat, buat baik pada mak ayah selagi adik-adik dapat melihat wajah mereka..

Adik-adik mujahid pemuda dunia baru Islam

Cinta ambo pada tarbiah ini, walaupun ditaklifkan untuk tarbiah mutarabbi, tapi diri ambo turut ditarbiah. Selama 21 hari bersama sahabat-sahabat fasilitator dan urusetia serta adik-adik mujahid, itu adalah rahmat Allah. Dia memberi peluang pada kita untuk bersatu dalam ikatan aqidah dan ikatan hati yang sama, maka bersyukurlah dan jika diizinkan-Nya lagi insyaAllah bertemu lagi dalam KBS akan datang. InsyaAllah..

Bersama dan Bersatu dalam Ikatan Satu Aqidah


Daurah Ilmu di Bumi Serambi Mekah

Kota Bharu, Kelatan Darul Naim Bandaraya Islam


Pada mulanya, apabila berakhir KBS ambo merancang untuk terus pulang ke Terengganu. Tapi perancangan Allah membawa diri ambo yang faqir ini ke Kelantan (negeri yang digelar serambi Mekah yang ke-2 selepas Aceh). Alhamdulillah dapat juga bermukim di sana selama seminggu untuk mengikuti pengajian ilmu.

Berada dalam biah pengajian pondok membuatkan ambo dapat merasa susahnya hidup penuntut ilmu dalam mengaji ini. Dalam keadaan yang serba kekurangan namun ilmu yang dikutip pelajar pondok ini cukup banyak & berkat. Kadang-kadang membandingkan kehidupan pembelajaran di maktab yang selesa namun input ilmu yang diperoleh sedikit cuma. Walaupun begitu, bersyukurlah. Bumi Allah kan luas untuk mencari ilmu. =)

(Kitab Wishahul Afrah, Penawar Bagi Hati, dan Hidayatus Sibyan)

Daurah kitab bermula pada 19 disember. Pengajian berfokuskan kepada 3 ilmu utama yang membawa kepada kesempurnaan terbentuknya ad-dien itu iaitu Aqidah, Feqah, dan Tasawuf (rujuk hadis ke-2 arbain nawawi-hadis iman, islam, & ihsan). Kitab yang menjadi fokus kepada daurah kali ini ialah Hidayatus Sibyan(Aqidah), Wishahul Afrah wa Asbahul Falah(Feqah), dan Penawar Bagi Hati(Tasawuf).

Syarahan pengajian kitab daripada para syeikh dan ustaz cukup bernilai. Setiap butir mutiara ilmu yang keluar dari mulut mereka menerangkan masalah ilmu menambahkan pengetahuan kepada ambo yang faqir ini. Sungguh, seronok bertalaqqi ilmu bersama mereka seakan seminggu itu sekejap cuma dan tak cukup. Kalau berkesempatan ingin lagi sekali bertalaqqi bersama mereka. InsyaAllah.
Para alim ulama' yang sudi mencurahkan ilmu (dari kiri : Ust Redhuan, Ust Dailami, Ust Isa, Ust Ramli, Ust Tuan Syarifudin, Ust Kamarullail, Ust Syarifudin)

Pada pagi setiap jumaat di bandar Kota Bharu diadakan kuliah dhuha. Jumaat (24 Dis) ambo berkesempatan berada dalam majlis ilmu di Kota Bharu. Subhanallah, Kelantan ini cukup barakah bukan sahaja kerana rakyatnya yang bersungguh dalam mengaji, malah pimpinan kerajaan negeri juga hebat dalam menyuburkan biah dan budaya ilmu. 

al-faqir dan sahabat menuju ke kuliah Tok Guru

Orang cukup ramai pada pagi itu dan sesak berhimpun semata-mata mendengar tausiah dan tazkirah Tuan Guru Nik Abdul Aziz Nik Mat. Berkesempatan juga ambo untuk berada di situ dan hampir dengan Tok Guru. Sempat juga ambo mencium tangan ulama dan pemimpin yang dikenali dunia ini. Semoga Allah merahmati dan memanjangkan umur beliau. Amiin.

ambo kagum dengan Tok Guru walaupun keletihan masih kuat semangat dakwahnya

Sepanjang mengikuti daurah kitab, ambo seronok berada di Kelantan ini. Jika berkesempatan insyaAllah ambo akan ke sini lagi. Terasa untuk bermastautin di Kelantan pula suatu hari nanti. =)

Ambo akhirkan kalam perkongsian ini di sini. Semoga di lain masa Allah panjangkan rezeki untuk ambo yang faqir ini megecapi nikmat sedemikian lagi. Mujahadah untuk menuju mardhatillah ini ambo berharap dikira dan dinilai Allah sebagai pahala amalan di sisi-Nya. InsyaAllah, taqabballah ya Allah.

[ambo yang faqir]
sekadar perkongsian bersama
 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Artikel Popular